Entah kenapa aku masih merindukan kota itu. Sebuah kota kecil, akan
tetapi aku sendiri belum sempat menjelajahi di setiap sudutnya. (Eh, tapi salah
juga opiniku tersebut, menurut wikipedia, Yogyakarta adalah kota terbesar di
Pulau Jawa, jadi kota kecil dikhususkan untuk aku yang tinggal di tengah kota,
haha). Memang hanya tiga bulan aku disana, tapi semuanya sudah membuat aku
betah, kecuali laporan tentunya (lihat disini). Apakah karena aku menemukan tambatan hati
disana? Tentu saja bukan, aku juga mungkin sulit untuk menjelaskan mengapa,
mungkin karena aku hanya berputar-putar di tengah kota Yogyakarta, jadi yang
terlihat adem ayemnya saja.
Salah satu yang aku rindukan adalah trans Yogya. Aku rindu menunggu bus Trans yang waktu tunggunya sangat tidak jelas, kadang cepat, kadang lamanya minta ampun bisa 1 jam lebih, tapi aku mencoba untuk menikmatinya. Karena dia adalah sarana transportasi yang selalu setia mengantar kami (khususnya aku) untuk berangkat dan pulang dari rumah sakit, serta murah tentunya. Ketika kami disana, lagi ada promo tuh ceritanya, untuk 2 bulan pertama kami bisa menikmati tarif murah hanya seribu rupiah untuk sekali masuk shelter, dan tujuan kemana, terserah anda. Untuk 1 bulan terakhir, kami ganti ke promo yang lain, karena promo yang pertama udah habis masanya. Yang kali ini cukup membayar seribu lima ratus rupiah saja, lumayanlah buat kantong mahasiswa. Tarif normal bus Trans adalah tiga ribu rupiah, jadi selama disana cukup terbantu dengan adanya promo-promo tersebut, hehehe
Hal lain yang cukup aku rindukan adalah rumah sakit. Sesuatu sekali
seorang seperti aku merindukan hal itu. Entah mengapa, aku rindu berjalan di sepanjang
koridor rumah sakit yang begitu luas, berinteraksi dengan pasien, bengong di
ruang ahli gizi, nongkrong di poli anak, waspada di poli KGD dengan “3 J”nya
dan berbincang ngalor ngidul dengan teman praktik dari beberapa daerah.
Walaupun pada kenyataannya, ketika aku praktik disana selama 3 bulan full,
aku juga mengalami kejenuhan. Biasa lah ya, manusia yang tidak pernah
bersyukur, haha
Aku rindu weekend di yogya, walaupun kebanyakan berdiam diri di kos
dan hanya memandang layar laptop. Mencari bahan-bahan untuk membuat laporan,
sembari bermain game (tapi lebih condong untuk bermain game, berkompetisi
memainkan Plant vs Zombie dengan cindil 2). Di sabtu pagi, menunggu
tukang bubur kacang ijo lewat dengan suara khasnya, ting ting ting ting. Dan
ketika tersengar suara itu, langsung buru-buru keluar dan menghampirinya.
Kami tinggal di kamar yang berdekatan dengan jalan jadi mendengar
banyak kali suara bakul jajan bersliweran, kalo ini bukan hanya weekend doank
sih, hampir setiap hari, entah itu pagi, sore atau malam. Te
sateeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee, ibu bakul sate yang suaranya nyaring dengan
nada yang panjang. Akan tetapi sekali mencoba langsung kapok untuk membelinya,
karena bahan yang digunakan sepertinya bukan bahan dengan kualitas yang baik
dan rasanya amburadul, maaf ya bu. Tetot tetot tetot, bapkao bakpao, nyoba
sekali dan gak mau-mau lagi karena rasanya kurang nendang. Jenang, jenaaang,
cilok ciloook, Awalnya gak yakin sama kualitas rasanya, akan tetapi setelah sekali
mencoba jadi ketagihan. Sayangnya ketahuannya pada bulan terakhir di Yogya,
jadi ketinggalan deh. Jenang, kalau di kampung saya namanya bubur, jenang yang
dijual ada 3 jenis, bubur sum-sum, mutiara dan bubur cetil dilengkapi dengan
kuah santan dan gula jawa yang sudah dicairkan, rasanya gurih, enak dan murah
tentunya, cuma 2ribu perak. Ada siomay yang kadang-kadang lewat, rasanya
standar sih, masih kalah kalau dibandingin sama siomay Bandung dekat Ind*maret Pedurungan,
tapi cukuplah buat pengganjal perut di kala kelaparan. Ada es tung-tung,
sekilas sih mirip es tung dekat rumah
yang laris abis, es tungnya ditambah mutiara, roti tawar dan susu kental manis coklat,
kalau masalah rasa, biasa saja, masih kalah sama yang di dekat rumah. Menjelang
malam, penjual bakso lewat bergantian, saking banyaknya yang lewat sampai
bingung ini yang enak yang mana. Bakso cukup menjadi favorit olehku di kala
malas membeli makan. Bakso favorit adalah bakso dengan brand pinky yang ada
bakso gedenya, tapi saking banyaknya bakul jadi bingung sendiri kalau mau milih
dan membeli, waktunya berbeda dan gak tentu, masalah rasa lumayanlah, tapi
masih kalah sama bakso kotak dekat polres pedurungan, ya iyalah harganya juga
beda jauh.
Oh ya, masih ada juga yang belum keturutan keinginannya. Belum
keturutan beli sate ayam yang lewat tengah malam, ini berbeda dengan yang ibu pertama
tadi. Kalau yang ini menurutku lebih bersih dan lebih enak, tapi baru
dianalisis berdasarkan aroma dan insting aja sih. Belum beli rujak es krim yang
selalu aku lihat sebelum melintasi toko mirota yang selalu dilewati ketika
berangkat dan pulang ke tempat praktik. Belum sempat beli bakso kepala bayi di
Jakal entah berapa, lupa (ini bahannya bukan dari kepala bayi beneran lho! Ini
hanya istilah yang aku pakai, karena baksonya hampir segede itu). Belum nyoba
crepesnya villa. Belum jalan-jalam kesini dan kesitu.
Ah, masih banyak hal yang ingin dilakukan di sana. Semoga suatu saat bisa kembali kesana, entah sendiri, entah dengannya, entah bersama mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar